Islam Agama Yang Benar
Ada
dua persyaratan bagi sebuah agama yang mengaku berasal dari Tuhan.
Pertama adalah agama tersebut harus bersifat demikian komprehensif,
sempurna, lengkap tanpa kekurangan dan bersih dari segala cacat dan noda
dalam aqidah, ajaran dan perintah-perintahnya, dimana pikiran manusia
tidak mungkin merumuskan yang lebih baik lagi. Agama ini harus berada di
atas dari semua agama lain menyangkut persyaratan-persyaratan tersebut.
Hanya Al-Qur’an yang mengajukan klaim untuk itu dengan menyatakan:
“Hari
ini telah Aku sempurnakan agamamu bagi manfaatmu, dan telah Aku
lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku sukai bagimu Islam sebagai
agama”. (S.5 Al-Maidah:4).
Dengan kata lain, Allah s.w.t. meminta
kita untuk menyelaraskan diri kita kepada realita yang inheren
(melekat) di dalam kata Islam. Disini ada pengakuan bahwa Al-Qur’an
merupakan ajaran yang sempurna dan bahwa saat turunnya Al-Qur’an
merupakan saat dimana ajaran sempurna tersebut sudah bisa diungkapkan
kepada manusia. Hanya Al-Qur’an yang layak membuat pengakuan demikian,
tidak ada kitab samawi lainnya yang pernah mengajukan pernyataan seperti
itu. Baik kitab Taurat mau pun Injil tidak mau memberikan pernyataan
demikian. Sebaliknya malah, karena kitab Taurat mengemukakan perintah
Tuhan bahwa Dia akan membangkitkan seorang Nabi dari antara para saudara
Bani Israil dan akan meletakkan Firman-Nya dalam mulut Nabi itu dan
barangsiapa tidak mau membuka telinganya bagi firman Tuhan tersebut akan
dimintakan pertanggungjawaban1. Dari hal ini menjadi jelas bahwa jika
Taurat memang sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia di
abad-abad berikutnya maka tidak perlu lagi adanya kedatangan Nabi lain
dimana manusia diwajibkan mendengar dan patuh kepadanya. Begitu pula
dengan Injil, tidak ada mengandung satu pun pernyataan yang mengemukakan
bahwa ajaran yang dibawanya telah sempurna dan komprehensif. Bahkan
jelas ada pengakuan Yesus bahwa masih banyak yang harus disampaikan
kepada para murid beliau namun mereka belum kuat menanggungnya, tetapi
jika nanti sang Penghibur atau Roh Kebenaran (Paraclete) telah datang
maka ia akan memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran2. Dengan
demikian jelas bahwa Nabi Musa a.s. pun mengakui masih kurang
sempurnanya kitab Taurat dan memintakan perhatian umatnya kepada seorang
Nabi yang akan datang. Begitu pula dengan Nabi Isa a.s. yang mengakui
kekurang-sempurnaan ajaran yang beliau bawa karena saatnya belum tiba
untuk dibukakannya ajaran yang sempurna, tetapi juga mengingatkan bahwa
jika nanti Paraclete sudah turun maka ia itulah yang akan memberikan
ajaran yang sempurna. Sebaliknya dengan Al-Qur’an yang tidak ada
meninggalkan persoalan terbuka untuk diselesaikan oleh kitab lainnya
sebagaimana halnya dengan Taurat dan Injil, bahkan mengumandangkan
kesempurnaan ajaran yang dikandungnya dengan firman:
“Hari ini
telah Aku sempurnakan agamamu bagi manfaatmu, dan telah Aku lengkapkan
nikmat-Ku atasmu dan telah Aku sukai bagimu Islam sebagai agama”. (S.5
Al-Maidah:4).
Inilah yang menjadi argumentasi pokok yang mendukung
Islam sebagai agama yang mengungguli agama-agama lainnya dalam ajaran
yang dibawanya sehingga tidak ada agama lain yang bisa dibandingkan
dalam kesempurnaan ajaran yang dikandungnya.
Karakteristik kedua
daripada Islam yang tidak ada pada agama lain yang juga menjadi bukti
kebenarannya adalah agama ini memanifestasikan karunia dan mukjizat yang
hidup. Tanda-tanda yang diperlihatkan Islam tidak saja mengukuhkan
kelebihannya di atas agama lain tetapi juga menjadi daya tarik bagi
kalbu manusia melalui penampakan Nur-nya yang sempurna. Karakteristik
pertama Islam sebagaimana dijelaskan di atas yaitu mengenai kesempurnaan
ajaran yang dibawanya, belumlah cukup konklusif untuk meneguhkan bahwa
Islam adalah agama benar yang diturunkan oleh Allah s.w.t. Seorang lawan
yang fanatik dan berpandangan cupat, bisa saja mengata-kan bahwa bisa
jadi agama itu sempurna namun belum tentu berasal dari Tuhan.
Karakteristik yang pertama memang bisa memuaskan seorang pencari
kebenaran yang bijak setelah diombang-ambingkan oleh berbagai keraguan,
membawanya lebih dekat kepada suatu kepastian, namun belum mengukuh-kan
permasalahannya secara konklusif jika belum dirangkaikan dengan
karakteristik kedua. Melalui rangkaian kedua karakteristik itu maka Nur
agama yang benar mencapai kesempurnaannya. Agama yang benar mengandung
ribuan bukti dan Nur, namun dua karakteristik tersebut cukuplah kiranya
memberi keyakinan bagi hati seorang pencari kebenaran dan menjelaskan
permasalahannya sehingga memuaskan mereka yang menyangkal kebenaran.
Tidak ada lagi yang diperlukan sebagai tambahan. Pada awalnya aku
bermaksud mengemukakan tigaratus argumentasi dalam buku Barahin
Ahmadiyah. Tetapi setelah direnungi lebih lanjut, aku merasa dua
karakteristik ini bisa menggantikan ribuan bukti-bukti lain dan karena
itu Allah s.w.t. menjadikan aku merubah rencanaku itu.
(Barahin Ahmadiyah, bag. V, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 21, hal. 3-6, London, 1984).
* * *
Hadzrat
Rasulullah s.a.w. menggambarkan Allah yang Maha Kuasa dengan segala
keagungan-Nya tanpa ada yang dikurangi sedikit pun. Dia dimunculkan
seolah matahari yang memanifestasikan Nur-Nya dari segala penjuru.
Barang¬siapa yang berpaling dari matahari haqiqi ini akan menemukan
kemudharatan. Kita tidak bisa mengatakan yang bersangkutan sebagai
manusia yang berkeimanan baik. Bisakah seseorang yang terjangkiti lepra
dimana anggota tubuhnya telah dirusak oleh penyakit itu, lalu bisa
menyatakan bahwa dirinya sehat utuh dan tidak memerlukan perawatan? Jika
benar ia mengatakan demikian, bisakah kita berpendapat bahwa ia tidak
berdusta? Kalau ada seseorang menekankan bahwa ia tidak juga menemukan
kebenaran Islam, meskipun ia memiliki keimanan yang baik dan meskipun ia
telah berupaya dengan segala cara sebagaimana ia mengelola urusan
duniawinya, maka masalahnya terpulang kepada Allah s.w.t. Kami belum
pernah bertemu dengan manusia seperti itu dan kami beranggapan bahwa
adalah tidak mungkin seseorang yang memiliki daya nalar dan indra
keadilan, akan memilih agama lain selain Islam. Orang-orang yang bodoh
dan tidak berakal biasanya selalu mengambil sikap sebagaimana yang
didiktekan oleh alam bawah sadarnya bahwa beriman kepada Tuhan yang Maha
Esa sudah cukup dan tidak perlu lagi mengikuti Yang Mulia Rasulullah
s.a.w. Yang harus diingat adalah seorang Nabi itu merupakan wujud yang
mencetuskan Ketauhidan yang melahirkan konsep ke Maha-Esa-an serta
menunjukkan eksistensi daripada Tuhan. Siapakah yang bisa lebih baik
menunjukkan kebenaran selain Allah s.w.t. sendiri? Dia mengisi langit
dan bumi ini dengan tanda-tanda yang membuktikan kebenaran daripada Yang
Mulia Rasulullah s.a.w. dan di abad ini Dia telah mengutus aku serta
memperlihatkan beribu-ribu tanda seperti hujan lebat yang membukti¬kan
kebenaran daripada Hadzrat Rasulullah s.a.w. Lalu apa lagi yang kurang
dalam pengemukaan kebenaran ini? Mereka yang memiliki penalaran cukup
untuk menyangkal, mengapa tidak memikirkan cara untuk mencoba menerima?
Ia yang merasa dirinya bisa melihat pada waktu gelap malam, mengapa
tidak bisa melihat di terang siang hari? Sesungguhnya jalan penerimaan
itu jauh lebih mudah daripada jalan penyangkalan. Mereka yang jalan
pikirannya memang kurang sempurna dan indra tubuhnya tidak normal
biarlah diserahkan kepada Allah s.w.t. dan kita tidak perlu pusing
karenanya. Mereka itu seperti anak-anak yang mati muda. Tetapi seorang
penyangkal yang jahat tidak bisa memaafkan dirinya atas dasar
pertimbangan bahwa ia demikian itu karena berdasarkan i’tikad baik.
Kiranya perlu dipertanyakan apakah semua indra yang bersangkutan itu
memang memadai untuk memper¬timbangkan masalah Ketauhidan dan Kenabian.
Jika ia memang mampu menelaah konsep-konsep itu dan tetap menyangkal
karena memang i’tikadnya yang kurang baik, maka orang seperti itu tidak
bisa dimaafkan. Bisakah kita memaklumi seseorang yang telah melihat
matahari yang sedang bersinar lalu degil bertahan menyatakan bahwa saat
ini sedang tengah malam. Begitu juga kita tidak bisa memaklumi mereka
yang sengaja memutarbalikkan penalaran untuk menolak argumentasi yang
dikemukakan demi Islam. Islam adalah sebuah agama yang hidup. Seseorang
yang bisa membedakan di antara apa yang mati dan yang hidup, bagaimana
mungkin ia mengesampingkan Islam dan menganut agama yang sudah mati?
(Haqiqatul Wahi, Qadian, Magazine Press, 1907; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 22, hal. 180-181, London,
Minggu, 08 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar